part 6
Hujan belum juga reda. Namun Rivan harus mengantarkan Rani ke tempat yang ia mau. Mobilnyapun berhenti di depan pemakaman umum di daerah Bandung. Dengan cepat Rani keluar dari mobil dan berlari menuju tempat yang ia tuju. Rivanpun mengejar Rani sembari membawa payung.
Rani menghentikan langkahnya di salah satu makam yang bertuliskan:
De Dicky Angelo
Lahir : 3 Desember 1995
Wafat : 8 Desember 2010
“Hi Dicky, apakabar?” Rani mengelus batu nisan tersebut, “Dic, kamu tau ga? Ada murid baru di sekolah. Namanya mirip banget sama kamu. Matanya seindah mata kamu. Senyumnya seindah senyum kamu”
Rivan hanya dapat melihat adiknya dengan penuh kesedihan. Dia tak tau harus berbuat apa. Kecelakaan yang merenggut nyawa Dicky di depan mata Rani emang ga mungkin bisa hilang dari benak Rani. Kecelakaan saat Rani merayakan hari jadinya dia dan Dicky satu tahun silam. Luka yang di rasakan Rani memang belum seutuhnya pulih. Namun senyum Rani kembali merekah setelah ia masuk SMA. Tapi sekarang dilihatnya lagi adik yang sangat ia sayangi, terpuruk lagi. Menangisi Dicky.
Kecelakaan itu memang sangat mengerikan. Darah Dicky menciprati baju seragan SMP Rani sewaktu itu. Menciprati wajah Rani. Ranipun saat itu histeris melihat semuanya. Rani memeluk Dicky erat, berteriak meminta tolong.
Dan di detik-detik terakhir napasnya Dicky membuka mata di genggamnya tangan Rani, “Ran, aku minta maaf. Aku gak bisa nemenin kamu untuk waktu yang lama. Kamu harus kuat Ran. Terimakasih untuk semua keindahan yang kamu kasih buat aku. Jalanin hidup kamu tanpa aku. Aku yakin kamu bisa. Aku sayang ka…” Dicky menarik napas panjang, “…mu” dan Dickypun pergi untuk selamanya. Menghembuskan napas terakhirnya, dalam pelukan Rani.
Rani menjerit histeris menyaksikan semuanya. Menyaksikan orang yang disayanginya bersimpahan darah. Tak bernapas. Dan meningalkanya. Selamanya.
HP Rivan bergetar. Terlihat nama Alice di layar
“Halo ka”
“Iya, ada apa Lice?”
“Rani gimana kak?”
“Rani inget Dicky lagi Lice”
“Ko bisa kak?”
“Lo tau teman baru di kelas kamu?”
“Iya kak, yang sebangku dengan Rani?”
“Iya… Nama dia Dicky De Angelo”
“Apaaaa?” Alice terkejut mendengarnya. Alice mengerti apa yang sedang di alami oleh sahabatnya. Alice mengetahui semua perjalanan Rani dan Dicky, sampai akhirnya Dicky pergi di hadapan Rani. Alice sangat mengerti mengapa sahabatnya itu seperti sekarang. Dicky De Angelo. De Dicky Angelo. Mirip sekali ucapnya dalam hati.
“Apaaaa?” Alice terkejut mendengarnya. Alice mengerti apa yang sedang di alami oleh sahabatnya. Alice mengetahui semua perjalanan Rani dan Dicky, sampai akhirnya Dicky pergi di hadapan Rani. Alice sangat mengerti mengapa sahabatnya itu seperti sekarang. Dicky De Angelo. De Dicky Angelo. Mirip sekali ucapnya dalam hati.
“Iya Lice. Sekarang juga, gue sama Rani lagi ada di makamnya Dicky”
“Oh. Ya udah kak. Aku sekarang ke rumah ya. Kalo kakak belum pulang aku tunggu di teras aja”
“Gak usah. Kunci rumah ada di bawah pot yang di atas meja. Lo ambil aja di situ. Di rumah juga ada Pusshi”
“Oke kak”
KLIK….
”Dic, kenapa ya dia dateng dengan sejuta kesamaan sama kamu?” Rani ngomong sendiri, “Dic, aku kangen sama kamu. Aku masih sayang banget sama kamu Dic! TAPI KENAPA KAMU TINGGALIN AKU!” Rani menjerit.
Rivan tak tega melihat adiknya seperti itu. Rivan menepuk pundak Rani. Perasaannya hancur melihat adiknya yang sudah kembali ceria menangis seperti ini lagi. Rivan sangat menyayangi adiknya, “Ran… kita pulang yuk! Aku yakin Dicky gak mau liat kamu kaya gini”
Rani tak mengeluarkan sepatah katapun. Dirinya masih terfokus pada batu nisan di hadapannya. Tangannya masih mengusap-usap batu nisan tersebut. Rani tetap berdiam dalam keheningan di bawah hujan yang semakin lebat.
“Ran, kita pulang yuk!”
“Van…. Aku mau di sini sama Dicky” suara Rani bergetar
“Ran, sadar! Sadar!”
“Kasian Dicky sendirian di sini. Kasian Dicky kedinginan di sini”
“RANI!” bentak Rivan. Rivan tak kuasa menahan dirinya. Rivan tak sanggup melihat adiknya, dihadapannya seperti ini, “RANI! SADAR RAN SADAR! DICKY UDAH PERGI! KAMU YANG KUAT RAN! JANGAN KAYAK GINI! MANA RANI YANG KUAT! RANI YANG SEMANGAT?!” di lepasnya payung dari tanganya. Rivan kemudian memeluk sang adik dengan penuh kasih sayang.
Ranipun tak kuasa menahan tangisnya dalam pelukan Rivan, “Dicky Van, Dicky”
“Iya Ran, Dicky udah tenang di alam sana! Lo harus kuat! Lo harus semangat lagi! Lo harus bangkit! Buat mama, buat papa, buat Dicky, buat gue! Jangan kayak gini Ran, gue gak kuat liat lo kayak gini! Lo ade gue satu-satunya”
Tak lama kemudian Rani tenang, “Dic, aku pulang dulu ya! Aku sayang kamu” Rani bangkit berdiri. Matanya sembab karena habis menangis. Tubuhnya basah kuyub setelah kehujanan. Kepalanya pusing. Badannya lemas. Sehingga Rivan harus memapah adiknya agar bisa berjalan sampai ke mobil. Dan merekapun pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar