part 8
Kondisi Rani sangat lemah. Dalam perjalanan pulang ia hanya diam seribu bahasa. Kepalanya terasa sangat pusing, tubuhnya terasa linu. Dan Ranipun tak sadarkan diri.
“Ran! Ran!” Rivan mengguncang-guncangkan tubuh Rani, namun Rani tetap tidak bergerak. Disentuhnya dahi Rani menggunakan punggung tangannya. Panas! Badan Rani sangat panas.
Tak lama mobil Rivan sampai di depan rumah. Di bukanya pintu pagar dan di parkirkannya mobil di dalam garasi.
“Kak, Rani mana?” tanya Alice cemas
“Rani pingsan lagi Lice. Badannya panas”
“Apa? Ko bisa?”
“Gue juga gak ngerti! Sekarang lo bantu gue bawa Rani kekamarnya.”
Di bantunya Rivan menggotong Rani ke kamarnya. Badan Rani memang sangat panas. Alice membantu mengeringkan tubuh Rani serta menggantikan pakaiannya yang basah kuyub. Sementara Rivan membuatkan teh manis hangat untuk Rani, Alice juga dirinya. Iapun membuatkan bubur instan untuk Rani. Karena setahunya Rani belum makan sama sekali semenjak pulang dari sekolah.
“Lice, Rani sudah sadar?” tanya Rivan sembari melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar sang adik. Tersirat sejuta kecemasan akan keadaan adiknya. Matanya redup oleh kabut bening yang menutupi. Tak ada cahaya sedikitpun di sana.
”Belum kak” jawab Alice tak kalah cemas.
Keduanya menatap Rani. Wajahnya pucat. Badannya dingin. Cahaya dari tubuhnya meredup. Matanya bengkak karena tak berhenti menangis. Bibir yang merah merona menjadi pucat pasi tak bercahaya.
Badan Rani panas. Panasnya tak turun-turun. Wajahnya semakin memucat. Membuat Rivan dan Alice semakin dilanda kecemasan. Sang adik dan juga sahabatnya tak sadarkan diri juga. Masih dalam kondisi semula. Lemah tak berdaya. Rivan memutuskan untuk menelepon seorang dokter.
Sementara itu di alam lain. Alam bawah sadar Rani.
Rani berjalan seorang diri. Melewati sebuah lorong panjang yang tak tau di mana ujungnya. Lorong tersebut terselimuti kabut putih yang sangat tebal. Rani tak tau harus berjalan kemana. Diikutinya lorong tersebut. Sampai akhirnya Rani menemukan semburat cahaya yang sangat menyilaukan. Dilangkahkannya kaki itu menuju cahaya tersebut.
Tak lama Rani sampai pada titik cahaya tersebut. Matanya melebar seraya di dapatinya taman yang begitu indah. Begitu menenangkan dirinya. Hatinya hangat berada di sana. Sampai suatu suara memanggilnya. Rani menoleh kearah suara tersebut. sosok yang sangat ia cintai. Sosok yang selama ini dia rindukan. Dicky.
“Rani…” sapa Dicky halus
Di raihnya tangan Dicky. Di peluknya cowok tersebut. tak ingin ia lepas. Rasa rindunya bercampur dengan kebahagiaan. Rasa rindu yang terobati. Air matanya mulai membasahi kedua pipi Rani.
Diusapnya air mata tersebut dengan lembut, di sentuhnya gadis yang sangat ia sayangi, “Rani… kamu harus kuat. Kamu akan selalu ada di hatiku Ran. Takkan pernah pergi. Walau jasadku sudah hancur, tapi kamu akan selalu ada di hatiku. Dan akupun begitu. Aku akan selalu berada di dalam hatimu. Tak perlu kamu cari.”
“Jangan pergi lagi Dic! Aku… mohon… Aku sayang kamu. Jangan pernah pergi” ucap Rani terbata-bata di sela isak tangisnya.
“Aku ga akan pernah pergi Ran. Aku selalu ada di hati kamu. Akupun sangat menyayangi kamu. Hidup kamu masih panjang Ran. Jalani hidupmu. Aku gak akan pergi. Aku kan selalu menunggu mu. Sampai suatu saat kita berada di dalam keabadiaan.”
“Aku mohon Dic! Jangan tinggalin aku lagi!”
“Kamu harus jadi Rani yang kuat. Rani yang penuh dengan senyuman.”
“Jangan Dic! Jangan pergi”
“Janji sama aku. Kamu akan selalu tersenyum. Percayalah musim semi akan datang di tempat yang sangat dingin sekalipun. Percayalah kita akan bertemu lagi. Tersenyumlah untukku. Berjanjilah Ran”
“Aku Janji. Aku akan jadi Rani yang kuat! Rani yang kamu mau. Rani yang selalu ceria”
“Kalau begitu lanjutkan hidupmu sayang! Jangan sia-siakan waktumu. Aku sayang kamu”
Di kecupnya kening Rani. Dickypun berbalik badan. Menuju cahaya yang sangat terang. Di tinggalkannya Rani. Gadis yang sangat ia sayangi.
Dokter telah selesai memeriksa Rani, “Dok! Gimana keadaan adik saya? Dia baik-baik aja kan!” Rivan membombardir dokter dengan semua pertanyaan yang jelas sangat mengkhawatirkan sang adik
“Adik anda hanya mengalami demam biasa. Dia tidak kenapa-kenapa. Namun saya lihat jiwa adik anda sedang terguncang. Agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi, sebaiknya adik anda istirahat untuk beberapa hari. Dan jangan ada yang membuatnya merasa sedih.”
Rivan menganggukan kepalanya, “Kalau begitu terimakasih ya dok” dengan segala ketenangan yang terpancarkan. Perasaan lega. Karena adiknya baik-baik saja. Terlihat Alicepun sama. Semburat kelegaan terpancarkan.
“Baiklah kalau begitu saya permisi”
“Baik dok!” jawab Rivan
Rivan dan Alice melangkahkan kakinya menuju kamar sang adik, juga sahabatnya itu. Dilihatnya Rani masih belum sadarkan diri. Namun tak lama kedua mata Rani membuka. Dilihatnya langt-langit kamar tidurnya. Lalu Rani melirik ke sebelahnya. Dilihatnya wajah yang sangat ia kenal bertahun-tahun sudah. Rivan. Setelah itu Rani melihat wajah yang sangat ia kenal selama beberapa tahun belakangan. Alice.
“Ran! Lo sadar” seru Alice bahagia
“Iya Ran! Akhirnya lo sadar juga!”
Rani yang masih pusing hanya menyunggingkan senyumannya
“R…an, lo gak papa kan?” tanya Alice
“Gak. Gue gak papa” jawab Rani lemas
“Oke! Kalo gitu sekarang lo minum teh manis dulu ya Ran” Rivan menyodorkan gelas yang berisikan air teh yang sudah di buatnya tadi
Rani mengambil gelas tersebut. Diteguknya air teh itu. Dan…
“RIVAN LO GILA YAH! Aduh! Udah tau gue masih pusing udah lo jailin lagi! TEGA BANGET SIH LO!” pekik Rani kesal. Rasa teh tersebut bukannya manis! Tapi ASIN! Membuat kepala Rani semakin nyut-nyutan karena marah-marah.
“Aduh lo apaan sih? Emang gue salah apa?”
“Lo coba aja teh buatan lo ini!”
“Gue juga punya sendiri! Malah gue juga buatin teh buat Alice! So.. Gak ada yang masalah” seru Rivan membela diri karena iapun sebenarnya belum mencoba teh tersebut karena terlalu cemas.
“Lo coba aja ndiri tu teh!” Rani agak membentak
Di cobanya teh tersebut. Ternyata rasanya memang ASIN. Rivan ternyata salah memasukan gula. Malah jadi garam.
“Hehehe…” di ucapnya tawa dalam suku kata, “Sori Ran! Gue salah masukin. Salah lo sendiri gak ngasih pembeda antara tempat garam dan gula” masih ingin membela diri
“Heh taplak! Nenek-nenek juga bisa bedain lah mana gula, mana garam! Elonya aja yang bego!” cecar Rani
Alice hanya bisa terdiam, menahan senyum geli menyaksikan pertengkaran antara adik dan kakak ini.
“Ya udah sori ndoro putri! Udah mending gue buatin! Dari pada gak! Lagian kan kita jadi tau kalo lo tuh udah sembuh!”
“Lo tuh yee! Udah salah masih aja ngotot! Dasar dableg! Tau dari mana kalo gue udah sembuh?”
“Itu buktinya! Macannya lagi ngamuk! Hahahaha”
“Sialan lo!” cemberut Rani.
Rani mengingat kejadian kemarin sore saat perjalan menuju salon tante Roishe, ”Lice! Tu Rivan Lice!” ledek Rani
Muka Alice seketika berubah warna, di palingkannya muka agar tak terlihat rona memerah itu di wajah Alice, “Apaan sih Ran! Gue juga tau itu kak Rivan”
“Ahay! Tu Rivan Lice! Hahaha muka lo ijo tuh!” ledek Rani
“Sebel deh! Apaan juga!”
Rivan celingukan melihat tingkah adiknya dan sahabatnya itu. Ia tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan, “Oke-oke. Gue gak mau lama-lama jadi obat nyamuk! Eh iya!”. “Lice, lo nginep kan?” Rivan mengarahkan pandanganya pada Alice.
“Ngg.. Iya kak” jawab Alice terbata-bata. Wajahnya semakin merah.
“Oke! Kalo gitu lo yang suapin Rani yah! Gue mau mandi nih! Kalo butuh apa-apa gue di kamar” Rivan melangkahkan kaki meluar kamar adiknya
“Rani! Lo sebel deh! Gue malu banget nih!” pekik Alice
“Ahay! Biarin! Dari pada cinta lo jadi batu di hati. Hahahaha!”
“Ikh apa deh! Sebel deh akh!”
Seketika kamar Rani hening, sampai Alice membuka suaranya. “Ran lo kenapa bisa kayak tadi? Gue khawatir banget! Dan lebih khawatir lagi liat lo yang sekarang. Tiba-tiba seneng gak jelas. Gue takut lo malah jadi gila”
“Eh sialan lo! Predikat ‘gila’ itu sudah merekat pada bule di depan gue! Takkan tergantikan!”
“Ceuilah! Banyak gaya lo! Jadi… Kenapa lo bisa kaya orang yang abis menang arisan”
Ranipun menceritakan semuanya. Mengapa ia sangat terkejut. Pertemuan singkatnya dengan Dicky. Dan janjinya untuk tetap kuat.
“Udahkan gue ceritanya?! Gue mau tidur! Ngantuk!”
“Idih! Lo ga setia kawan sekali sih! Masa gue di tinggalin tidur?”
“Kepala gue masih pusing Lice. Oia lo jangan lupa ngasih makan si Pusshi dulu ya! Please tolongin gue. Kalo udah lo tinggal tidur dah di sebelah gue ato di kamar tamu. Kalo lo bingung mau ngasih makan Pusshi apa lo panggil aja ‘RIVAN’” sembari senyum-senyum, Rani memberikan tekanan pada saat mengucapkan nama kakaknya.
”Yerserah apa kata lo deh. Ya udah bobo sana! Biar besok segeran! Masalah gue tidur mah gampang”
“Sip! Tapi jangan berbuat macem-macem ya sama kakak gue! Gue gak mau rumah gue di gerebek warga!”
“Emang lo kata gue apaan?! Cuci tu otak!”gerutu Alice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar